Apa sih yang ada dalam pikiran
kita saat mendengar kata museum? Yap, sarana edukasi ini memang biasanya
dikemas sedemikian menarik agar pengunjung jadi lebih betah untuk menyaksikan yang didisplay sekaligus memenuhi rasa penasaran pengunjung.
Nah, museum satu ini berbeda
daripada yang lain. Mungkin sebagian kita pasti akan sedikit merasa aneh saat
mendengar museum satu ini. Di Surabaya, tepatnya di dalam kawasan Universitas
Airlangga (Unair) terdapat museum kematian. Dari namanya, kita bisa menebak kalau museum ini merupakan pusat kajian-kajian tentang kematian.
Bernama lengkap Museum Etnografi,
mungkin sebagian dari kita menganggap kalau museumnya bakal hanya berisikan
kerangka-kerangka saja. Padahal, konsep dari museum ini benar-benar menyajikan segala hal yang berbau dengan kematian.
Museum yang dikelola oleh
Departemen Antropologi ini merupakan berbagai bentuk replika makam yang ada di Indonesia, sekaligus menyuguhkan beragam tradisi pemakaman yang ada.
"Di sini ada makam Islam,
Belanda, Tionghoa, Nasrani, Sulawesi Utara, Bali dan Toraja," kata salah satu pengurus museum, Desi Bestiana kepada detikcom, Selasa (4/9/2018).
Museum ini bahkan menjanjikan pengalaman dengan nuansa horor dengan lampu temaram, aroma dupa terbakar, lengkap dengan suara jangkrik di malam hari. Walaupun makam-makam yang disajikan adalah replika, tapi sebagian kerangka yang digunakan merupakan kerangka betulan yang dipinjamkan langsung dari pihak kepolisian, lho.
Tujuan didirikannya museum kematian
Dalam departemen antropologi, ada
dua peminatan yang dipelajari, yaitu antropologi sosial budaya dan antropolohi
ragawi. Agar orang lain jadi lebih mudah dalam mempelajarinya, pengelola memutuskan untuk membuat konsep yang bisa mewakili keduanya.
"Kalau tentang sosial budaya
itu kita mempelajari manusia secara kebudayaan dan sosialnya. Sementara kalau
yang ragawi itu kita mempelajari khusus tubuh manusia. Nah agar dua peminatan
itu bisa bersatu dan bisa di-display-kan di sini secara bersama-sama, kita cari tema yang bisa menyatukan keduanya.
Akhirnya kita pilih tema kematian, karena kematian itu bisa dilihat dari budaya dan bisa dilihat dari segi tubuh manusia itu sendiri karena setelah mati manusia akan dikubur dan diproses dalam pembusukan," papar Desi.
Baca juga:
Awal berdirinya museum kematian
Meskipun nama museum ini baru
diberitakan belakangan-belakangan ini, kenyataannya museum kematian sudah
berdiri sejak tahun 2006, yang diawali dari koleksi para mahasiswa yang melakukan Praktik Kerja Lapangan (PKL) ke berbagai daerah.
Dalam praktiknya tersebut, para
mahasiswa mendapati kalau salah satu aspek yang paling banyak ditemukan adalah perbedaan tradisi saat memakamkan jenazah.
"Kan mahasiswa itu sering
PKL ke luar kota dengan tema macem-macem. Biasanya itu kita menemukan benda-benda etnografi. Dari situ kita kumpulkan," ungkap Desi.
Mulanya, para mahasiswa ini hanya
merangkum beragam tradisi tersebut dan memamerkannya dalam museum. Namun, sejak
tahun 2014 kemarin, pengelola mendapatkan dana hibah dari Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan untuk merenovasi bangunan museum.
Antropologi sendiri merupakan ilmu tentang manusia. Jadi,
sebagian besar museum ini merupakan sarana pembelajaran buat mereka, khususnya
yang mempelajari antropologi.
Jadi, buat kita yang tertarik untuk mempelajari manusia dengan cara yang lebih
praktis, kita bisa berkunjung ke museum kematian ini setiap hari Senin sampai
Jumat, pukul 10.00-15.00.